//
you're reading...
play

One Day in Heroshima…

Cukup berdebar-debar juga rasanya. Ini adalah sebuah pengalaman baru. Baru kali ini saya traveling ke suatu negara yang sangat asing, tanpa tahu bahasanya sama sekali, dengan tidak menggunakan pemandu. Apalagi masyarakat Jepang sangat terkenal akan kebanggaan atas budaya negaranya. Ada kesan mereka enggan untuk belajar bahasa di luar bahasa mereka. Bahkan, semua rambu dan informasi di tempat-tempat umum pun menggunakan bahasa dan huruf kanji Jepang. Dengan hanya bermodal bahasa Inggris, itu pun hanya pas-pasan, ternyata sangat kurang. Baru saya pahami, kenapa Hollywood pernah sampai membuat film “Lost in Translation”. Sepertinya, hal itu yang akan saya alami hari ini.

Trip saya kali ini memang lain dari biasanya. Bukan sekedar jalan-jalan atau tugas kantor, tapi hanya ‘nebeng’. Ya kali ini saya hanya ikut Bunga, pacar saya. Bunga mengikuti sebuah konferensi di Kyoto berkaitan dengan program studi doktoralnya. Selain itu, dia juga bermaksud untuk bernostalgia dengan keluarga angkatnya di sebuah desa kecil Matsunaga yang terletak di Prefecture Heroshima, jauh di Barat Tokyo. Pada saat SMA dulu, Bunga pernah mengikuti program pertukaran pelajar Indonesia-Jepang. Dan saat itu dia tinggal dengan Otosan dan Okasan angkat di kota itu selama ±1 tahun.

 

Hari ini, Bunga merencanakan untuk mengunjungi sekolahnya waktu itu dan bersilaturahi dengan mantan guru-gurunya. Saat makan malam kemarin, saya sempat dikenalkan dengan Kepala Sekolahnya waktu itu. Dan saya pun dengan suksesnya menjadi kambing congek. Satu kalimat pun tidak ada yang saya pahami. Lebih parahnya lagi, sangat sedikit kata-kata dalam bahasa Jepang yang saya pahami artinya; konbanwa, haik, oishii… Sudah, itu aja. Maka dari itu, pagi ini saya putuskan saja untuk jalan-jalan sendiri. Dari pada jika saya ikut Bunga, nanti seperti nonton film seharian tanpa subtitle, oh nooo…

Dengan mengantongi petunjuk tertulis yang diberikan Bunga, saya merencanakan untuk pergi ke kota Heroshima. Sangat penasaran saya dengan kota satu ini. Kota yang menjadi penentu berakhirnya Perang Dunia ke-2. Setelah lebih dari 60 tahun di-bom atom oleh Sekutu, seperti apa perkembangannya saat ini.

 

Perjalanan hari ini pun dimulai. Berawal dari station kereta kecil di Matsunaga, saya harus menuju station kereta yang lebih besar, yaitu Fukuyama. Perjalanan sejauh ±10 KM ini, ditempuh selama 18 menit. Cukup lama, karena kereta yang saya naiki memang jenis kereta api commuter. Kereta api antar district yang setiap station harus berkenti. Mirip dengan commuter line Jabedetabek. Oh iya, bukankah commuter line Jabodetabek itu keretanya hibah dari pemerintah Jepang kan? Pantes saja. Saat naik kereta ini saya merasa sangat familer, tapi dengan kondisi yang jauh lebih bagus dan jauh lebih bersih.  Baru nanti setelah tiba di station Fukuyama, saya harus berpindah menggunakan bullet train Sanyo Shinkansen, kereta cepat untuk tujuan jarak jauh.

Sesampainya di Fukuyama, kesulitan itu pun timbul. Walapun station ini tidak sebesar Kyoto dan Tokyo, tapi sangat membuat pusing juga. Saat kemarin di station Kyoto dan Tokyo, ada Bunga yang bisa berbahasa Jepang dengan lancar. Dan sekarang, saya sendiri. Dan satu hal lagi yang saya perhatikan, seluruh informasi di station ini menggunakan huruf kanji. Mati deh…, bisa nyasar nih. Ada godaan yang sangat kuat, sudahlah balik lagi ke Matsunaga saja… Tapi kalau seperti itu, artinya saya menyerah begitu saja. Nope, that’s not me…

Oh iya, satu hal besar sudah terselesaikan sebelumnya. Untuk trip ke Jepang kali ini, sejak dari Jakarta, kami sudah membeli JR Pass. JR Pass adalah Kartu Pass untuk menggunakan jaringan transportasi yang dikelola oleh Japan Railways khusus untuk tourist yang bepergian di Jepang. Japan Railways ini mengelola lebih dari 70% jaringan perkeretaapian di Jepang. Walaupun cukup mahal, USD 275 per pax untuk pass selama 7 hari, tapi sangat sepadan. Selama masih dalam naungan Japan Railways, kita bebas menggunakan transportasi itu kemana saja kapan saja. Benar-benar bebas merdeka.

Penggunaannya pun cukup mudah. Di setiap station, kita tinggal menunjukkan kartu pass tersebut ke petugas ticketing dan menyebutkan tujuan kita. Nanti petugas tersebut akan mengeluarkan print out tiket sesuai permintaan kita. Gak kebayang betapa rumitnya jika perjalanan kali ini, saya juga harus membeli tiket setiap kali akan naik kereta.

 

Sudah lebih dari 30 menit dari tadi saya muter-muter, berpindah dari lantai atas ke lantai bawah, bolak-balik naik turun, mencari letak counter ticket, gak ketemu juga. Nanya orang lewat, satu pun gak ada yang ngerti saya ngomong apa. Baca monitor informasi, malah seperti melihat lukisan abstrak, semakin bikin pusing… Baiklah, pokoknya nanti setalah trip ini, saya harus belajar bahasa Jepang.

Dan keberuntungan itu ternyata masih ada. Secara tidak sengaja, akhirnya saya melihat logo JR Pass. Ahh…, leganya… Pasti di sini tempatnya. Tapi , eiittsss… masalah baru muncul. Si mas yang jaga ticket, cuma bisa bahasa Jepang. Tapi di sinilah saya terkagum-kagum akan kesiapan dan keseriusan pemerintah Jepang dalam mengelola pariwisata mereka. Paham dengan kebingunan saya, si mas tadi langsung mengeluarkan buku panduan yang cukup tebal.

Luar biasa. Ternyata di dalam buku itu tertulis panduan pertanyaan dan jawaban dalam pelbagai macam bahasa; English, France, Germany, Spanish, Chinese, dan Jepang sendiri.  Jadi petugas itu hanya menunjuk satu pertanyaan, dan saya pun juga menunjuk pilihan jawaban. Ahirnya komunikasi itu kita lakukan dengan tunjuk sana, tunjuk sini, tapi cukup efektif, hehehe… Dan satu lagi yang membuat saya terkagum-kagum, pertanyaaan-pertanyaan tersebut sangat detail. Mulai dari tujuan, pilihan jadwal, pilihan tempat duduk, sampai dengan jalur yang harus diambil. Benar-benar salut dengan kesiapan mereka…

 

Perjalanan menuju Heroshima cukup menakjubkan. Saat itu akhir Fall awal Winter, jadi cuaca pun masih bersahabat, belum terlalu dingin. Dengan melintasi daerah persawahan,pedesaan, pantai, dan pegunungan, perpaduan pemandangan itu benar-bebar indah. Pepohonan pun warna warni; hijau, kuning, merah, berpadu dengan bangunan-bangunan tradisional Jepang. Sangat indah…

Dengan kecepatan di atas 300 km/jam, jarak 95 KM ini akan ditempuh ± 20 menit. Kereta apinya pun sangat modern. Dengan kecepatan seperti itu, hampir tidak terasa sama sekali guncangan yang terjadi. Dan yang lebih luar biasa lagi, cabin terasa sangat senyap. Ahh…, kapan ya Indonesia punya kereta api seperti ini?

 

Bertolak belakang dengan bayangan saya sebelum ini, Heroshima ternyata tidak seperti kota yang tertinggal perkembangannya akibat hancur oleh perang. Sebaliknya, menjelma menjadi kota yang sangat maju. Sudah pasti pemerintah Jepang mengerahkan segala daya dan upaya untuk membangun kembali Heroshima. Justru sepertinya pemerintah Jepang mempunyai kesempatan membangung Heroshima mulai dari nol lagi. Semua dipikirkan secara matang. Tata kota yang sungguh luar biasa. Peruntukan kawasan sangat jelas; komersial, residensial, wisata, bahkan leisure sudah terzoning dengan baik. Transportasi kota pun tertata dengan sangat baik. Dengan memadukan unsur tradisional Jepang dengan unsur modern, kita tidak akan pernah menyangka, bahwa kota ini pernah luluh lantak, rata dengan tanah.

Seakan ingin membuktikan bahwa kota ini sebenarnya belum pernah mengalami kehancuran total, saya pun menuju Genbaku Dome. Konon, inilah satu-satunya bangunan yang masih berdiri saat bom atom itu dijatuhkan. Dan ternyata saya salah. Sungguh miris melihat Genbaku Dome. Apabila bangunan ini merupakan satu2nya yang tersisa, betapa hebatnya bom atom itu dahulu. Konon dahulu bangunan ini difungsikan sebagai multi function hall. Tapi sekarang hanya tinggal puing yang disokong oleh struktur penguat agar tidak roboh, dan sengaja dibiarkan seperti aslinya sebagai monumen perdamaian.

Memasuki Heroshima Peace Memorial Museum yang tertelak tidak jauh jauh dari Genbaku Dome, hati ini semakin teriris. Di museum ini tersimpan semua memorabilia dan data serta fakta tentang bom atom yang dijatuhkan oleh Sekutu pada tanggal 6 Agustus 1945.

Sungguh, betapa dahsyatnya bom itu. Radius kerusakan lebih dari 5 km dari hypocenter. Tercatat 70.000 jiwa terenggut, dan 70.000 lainya terpapar radiasi. Dan hati ini semakin tergetar saat memasuki ruang diorama dan ruang edukasi tentang bom atom. Sungguh ‘sangat beruntung’ korban yang langsung terenggut jiwanya. Tetapi tidak bagi yang terpapar radiasi. Seolah-olah, itu adalah penderitaan tak berujung, mungkin seperti neraka yang nyata di dunia.

Tahap pertama paparan radiasi adalah rontoknya seluruh rambut dan bulu yang ada di sekujur tubuh. Mulai dari kepala, sampai ujung kaki, rontok satu per satu. Tahap berikutnya adalah terkelupasnya kulit luar dan kuku-kuku di jari tangan maupun kaki. Tidak berhenti sampai di situ saja… Tahapan selanjutnya, mungkin inilah yang paling menyakitkan; daging dan jaringan lemak di bawah kulit, yang membalut tulang, secara perlahan melepuh, kemudian meleleh dan menetes seperti lilin.

Sampai tahap tersebut, konon kesadaran sang korban masih penuh. Dan Simpul-simpul syaraf masih aktif. Itu artinya mereka masih merasakan sakit yang tak tertahankan itu.  Oh Tuhan… Dan lelehan itu berlangsung terus sampai tulang saja yang tertinggal…

Jika paparan radiasi tidak terlalu kuat, yaitu mereka yang berada di radius lebih dari 5 km, tahapan radiasi itu “hanya” sampai tahap lelehnya jaringan daging bagian luar. Para korban ini bisa bertahan hidup sampai beberapa bulan. Bayangkan saja penderitaan yang mereka alami itu, seolah-olah seperti mayat hidup. Bahkan untuk sekedar bunuh diri (karena tidak tahan menanggung rasa sakit yang tak tertahankan) pun, mereka tidak punya daya. Mau tidak mau mereka akan berkubang dengan rasa sakit, detik demi detik, menit demi menit; jam demi jam, selama berhari-hari, bahkan sampai berbulan-bulan.

 

Tak terasa, air mata pun mengalir dengan fakta luar biasa yang baru saja saya ketahui itu. Ah, indahnya apabila dunia ini penuh dengan damai. Perang memang sangat kejam. Dan apa pun alasan perang, yang selalu menjadi korban adalah masyarakat sipil. Apalagi jika sampai menggunakan senjata pemusnah masal semacam bom atom itu. Padahal, itu adalah technology senjata tahun 1945. Tak terbayang, apa yang mampu dihancurkan oleh senjata masa kini…

 

Sungguh suatu pengalaman yang sangat berharga. Jika saya tadi menuruti kemauan untuk tidak nekad dengan bepergian sendiri, belum tentu saya akan mengalami ini semua.

Dalam perjalan pulang ke Matsunaga, saya pun mampir untuk makan Okonomiyaki. Konon Okonomiyaki terenak, adalah yang ada di kota Heroshima. Dan berita itu bukan bualan kosong, benar-benar enak. Oh iya, untuk urusan makan, di Jepang kita tidak perlu kuatir jika tidak bisa bahasa Jepang. Karena untuk memesan, kita hanya tinggal tunjuk saja. Di setiap tempat makan di Jepang, mereka menyajikan menu makanan dalam bentuk aslinya dengan menggunakan bahan lilin, disertai dengan harga di masing-masing menu tersebut.

Hal itu sangat memudahkan mereka yang tidak bisa bahasa Jepang, seperti saya. Untuk minum pun tidak perlu kuatir, vending machine hampir ada di semua tempat, bahkan di halte bus pun ada. Hanya satu yang perlu dikuatirkan kalau jalan-jalan ke Jepang. Kuatirlah kalau kita kehabisan uang, hehehe…. Ya memang , harga di sini luar biasa mahal, apalagi mereka lebih suka menerima banknote Yen dari pada card…

 

INSIGHT:

Great things never come from the comfort zone

About biMo

these are the little notes of my life; eat, work, play, and love...

Diskusi

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar

Kategori